Upacara
penyerahan kekuasaan dilakukan pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati,
Subang, Jawa Barat. Dalam upacara tersebut Sekutu diwakili oleh Gubernur
Jenderal Tjarda van Starkenborgh dan Jenderal Ter Poorten, sedang
Jepang diwakili oleh Jenderal Hitoshi Imamura. Dengan penyerahan itu
secara otomatis Indonesia mulai dijajah oleh Jepang.Kebijakan Jepang
terhadap rakyat Indonesia pada prinsipnya diprioritaskan pada dua hal,
yaitu:
1. Menghapus pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia, dan
2. Memobilisasi rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
1. Menghapus pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia, dan
2. Memobilisasi rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
A. INTERAKSI BANGSA INDONESIA DENGAN JEPANG PADA MASA KOLONIAL BELANDA
Jauh
hari, sebelum berlangsungnya Perang Dunia II, telah terjadi hubungan
antara tokoh-tokoh nasionalis Indonesia dengan pihak Jepang, antara
lain Gatot Mangkupraja dan Moh. Hatta. Sesudah
kunjungannya ke Jepang pada akhir tahun 1933, Gatot Mangkupraja
berkeyakinan bahwa Jepang dengan gerakan Pan-Asia mendukung pergerakkan
nasional Indonesia.
Moh.
Hatta adalah tokoh yang memegang teguh paham nasionalisme. Meskipun
beliau secara tegas menolak imperialism Jepang, tetapi beliau tidak
mengecam perjuangan Jepang dalam melawan ekspansi Negara-negara Barat.
Moh. Hatta bersedia bekerja sama dengan Jepang karena beliau
berkeyakinan pada ketulusan Jepang dalam mendukung kemerdekaan
Indonesia.
Faktor
lain yang menyebabkan timbulnya simpati rakyat Indonesia kepada Jepang
adalah sikap keras pemerintah Hindia Belanda menjelang akhir
kekuasaannya. Pada tahun 1938, pemerintah colonial menolak Petisi Sutardjo yang
meminta pemerintahan sendiri bagi bangsa Indonesia dalam lingkungkan
kekuasaan Belanda sesudah 10 tahun. Setahun kemudian, Belanda pun
menolak usulan dari Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang dirumuskan
dalam slogan Indonesia Berparlemen. Penolakan-penolakan tersebut
menimbulkan keyakinan kaum pergerakan nasional Indonesia bahwa pihak
Belanda tidak akan memberikan kemerdekaan. Di lain pihak, Jepang sejak
awal sudah mengumandangkan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia, termasuk
Indonesia.
B. KEBIJAKAN PEMERINTAHAN PENDUDUKAN JEPANG
Pada 8 Maret 1942, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda Letnan Jenderal H. Ter Poorten menyerah tanpa syarat kepada pimpinan tentara Jepang Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Hal itu menandai berakhirnya masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia dan digantikan oleh pemerintah pendudukan Jepang.
1. SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN
I.) Sistem Pemerintahan Militer
Berbeda
dengan zaman Hindia Belanda yang hanya terdapat satu pemerintahan
sipil, pada zaman pendudukan Jepang terdapat tiga pemerintahan militer
penduudukan sebagai berikut.
a.) Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara Ke-25) untuk Sumatera, dengan pusatnya di Bukittinggi.
b.) Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara Ke-16) untuk Jawa dan Madura, dengan pusatnya di Jakarta.
c.)
Pemerintahan Militer Angkatan Laut (Armada Selatan Ke-2) untuk
Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku, dengan pusatnya di Makassar.
Panglima
Tentara Ke-16 di Pulau Jawa ialah Letnan Jenderal Hitoshi Imamura.
Kepala Stafnya ialah Mayor Jenderal Seizaburo Okasaki. Mereka mendapat
tugas membentuk suatu pemerintahan militer di Jawa dan kemudian diangkat
sebagai Gunseikan (kepala pemerintahan militer). Staf pemerintahan militer pusat disebut Gunseikanbu, yang terdiri dari atas 5 macam departemen (bu), yaitu sebagai berikut.
a.) Departemen Urusan Umum (Sumobu),
b.) Departemen Keuangan (Zaimubu),
c.) Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan Tangan (Sangyobu),
d.) Departemen Lalu Lintas (Kotsubu),
e.) Departemen Kehakiman (Shihobu).
Pada
bulan Agustus 1942, pemerintahan militer Jepang meningkatkan penataan
pemerintahan. Hal ini tampak dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 27
tentang aturan pemerintahan daerah dan Undang-Undang No. 28 tentang
aturan pemerintahan syú dan tókubetsu syi. Kedua undang-undang tersebut menunjukkan dimulainya pemerintahan sipil Jepang di Pulau Jawa.
Menurut Undang-Undang No. 27, seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali kõci (daerah istimewa) Surakarta dan Yogyakarta, dibagi atas tingkatan berikut.
a.) Karesidenan (syú) dipimpin oleh seorang syucõ.
b.) Kotapraja (syi) dipimpin oleh seorang syicõ.
c.) Kabupaten (ken) dipimpin oleh seorang kencõ.
d.) Kawedanan atau Distrik (gun) dipimpin oleh seorang guncõ.
e.) Kecamatan (son) dipimpin oleh seorang soncõ.
f.) Kelurahan atau Desa (ku) dipimpin oleh seorang kucõ.
Meningkatnya
Perang Pasifik semakin melemahkan Angkatan Perang Jepang. Guna
menahanan serangan Sekutu yang semakin hebat, Jepang mengubah sikapnya
terhadap negeri-negeri jajahannya. Di depan Sidang Istimewa ke-82
Parlemen di Tokyo pada tanggal 16 Juni 1943, Perdana Menteri Hideki Tojo
mengeluarkan kebijakan memberikan kesempatan kepada orang Indonesia
untuk turut mengambil bagian dalam pemerintahan negara. Selanjutnya pada
tanggal 1 Agustus 1943 dikeluarkan pengumuman Saikō Shikikan (Panglima Tertinggi) tentang garis-garis besar rencana mengikutsertakan orang-orang Indonesia dalam pemerintahan.
Pengikutsertaan
bangsa Indonesia dimulai dengan pengangkatan Prof. Dr. Husein
Djajadiningrat sebagai Kepala Departemen Urusan Agama pada tanggal 1
Oktober 1943. Kemudian pada tanggal 10 November 1943, Mas Sutardjo
Kartohadikusumo dan R.M.T.A Suryo masing-masing diangkat menjadi syúcokan di Jakarta dan Bojonegoro. Pengangkatan tujuh penasihat (sanyō) bangsa Indonesia dilakukan pada pertengahan bulan September 1943, yaitu sebagai berikut.
a.) Ir. Soekarno untuk Departemen Urusan Umum (Somubu).
b.) Mr. Suwandi dan dr. Abdul Rasyid untuk Biro Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Dalam Negeri (Naimubu-bunkyōku).
c.) Prof. Dr. Mr. Supomo untuk Departemen Kehakiman (Shihōbu).
d.) Mochtar bin Prabu Mangkunegoro untuk Departemen Lalu Lintas (Kotsubu).
e.) Mr. Muh Yamin untuk Departemen Propaganda (Sendenbu).
f.) Prawoto Sumodilogo untuk Departemen Perekonomian (Sangyobu).
Pemerintah pendudukan Jepang kemudian membentuk Badan Pertimbangan Pusat (Cuo Sangi In).
Badan hal ini bertugas mengajukan usulan kepada pemerintah serta
menjawab pertanyaan pemerintah mengenai masalah-masalah politik dan
memberi saran tindakan-tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah
militer Jepang di Indonesia.
II.) Pembentukan Organisasi-Organisasi Semi Militer
Guna
memperkuat barisan pertahanan dan membantu kekuatan militer, Jepang
mengeluarkan kebijakan untuk membentuk organisasi-organisasi semi
militer yang mengikutsertakan rakyat Indonesia, antara lain sebagai
berikut.
a. Seinendan
Pada
tanggal 29 April 1943, tepat pada hari ulang tahun Kaisar Jepang
Hirohito, diumumkan secara resmi pembentukan dua organisasi pemuda,
yaitu seinendan dan keibodan. Keanggotaan seinendan terbuka
bagi pemuda-pemuda Asia yang berusia antara 15-25 tahun, yang kemudian
diubah menjadi batasan usia 14-22 tahun, karena suatu kebutuhan yang
mendesak. Tujuan didirikannya Seinendan adalah untuk mendidik dan
melatih para pemuda agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya
dengan menggunakan tangan dan kekuatannya sendiri. Tetapi, maksud
terselubung diadakannya pendidikan dan pelatihannya ini adalah guna
mempersiapkan pasukan cadangan untuk kepentingan Jepang di Perang Asia
Timur Raya.
b. Keibodan
Keibodan merupakan
barisan pembantu polisi Jepang dengan tugas-tugas kepolisian, seperti
penjagaan lalu lintas dan pengaman di desa-desa. Anggotanya ialah
pemuda-pemuda yang berusia antara 20-35 tahun, yang kemudian diubah
menjadi antara 26-35 tahun. Untuk kalangan etnis Cina juga dibentuk
semacam Keibodan, yang disebut Kakyo Keibotai.
c. Heiho
Pada bulan April 1943 dikeluarkan pengumuman mengenai pembukaan kesempatan kepada para pemuda Indonesia untuk menjadi pembantu prajurit Jepang (Heiho). Pemuda yang ingin menjadi anggota Heiho harus memenuhi syarat-syarat kecakapan umum, seperti berbadan sehat, berkelakuan baik, berumur antara 18-25 tahun, dan berpendidikan serendah-rendahnya adalah Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar).
Pada bulan April 1943 dikeluarkan pengumuman mengenai pembukaan kesempatan kepada para pemuda Indonesia untuk menjadi pembantu prajurit Jepang (Heiho). Pemuda yang ingin menjadi anggota Heiho harus memenuhi syarat-syarat kecakapan umum, seperti berbadan sehat, berkelakuan baik, berumur antara 18-25 tahun, dan berpendidikan serendah-rendahnya adalah Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar).
d. Pembela Tanah Air (PETA)
PETA dibentuk atas prakarsa Gatot Mangkupraja dan disahkan melalui Osamu Seirei No. 44 tanggal 3 Oktober 1943. Berbeda dengan Heiho, PETA mengenal lima macam tingkat kepangkata, sebagai berikut ini.
*Komandan Batalion (Daidanco),
dipilih dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat, seperti pegawai
pemerintah, pemimpin agama, pamong praja, politikus, dan penegak hokum.
*Komandan Kompi (Cudanco), dipilih dari kalangan yang telah bekerja, tetapi belum mencapai pangkat yang tinggi, seperti guru sekolah dan juru tulis.
*Komandan Peleton (Shodanco), dipilih dari kalangan pelajar-pelajar sekolah lanjutan tingkat pertama atau sekolah lanjutan tingkat atas.
*Komandan Regu (Budanco) dan Komandan Pasukan Sukarela (Giyuhei), dipilih dari kalangan pemuda dari tingkatan Sekolah Dasar.
Dalam perkembangannya, ternyata banyak sekali anggota PETA di beberapa daidan (battalion)
yang merasa kecewa terhadap pemerintah pendudukan Jepang. Kekecewaan
tersebut menimbulkan pemberontakan. Pemberontakan PETA di Blitar pada
tanggal 14 Februari 1945 yang dipimpin oleh Supriyadi dan Muradi.
e. Fujinkai
Selain pemuda, juga dilakukan pembentukan organisasi kaum wanita. Pada bulan Agustus 1943, dibentuklah Fujinkai (Himpunan
Wanita) yang usianya minimal adalah 15 tahun. Organisasi ini bertugas
untuk mengerahkan tenaga perempuan turut serta dalam memperkuat
pertahanan dengan cara mengumpulkan dana wajib. Dana wajib dapat berupa
perhiasan, bahan makanan, hewan ternak ataupun keperluan-keperluan
lainnya yang digunakan untuk perang.
2. KEBIJAKAN SOSIAL DAN EKONOMI
Dalam
rangka “menjepangkan” bangsa Indonesia, Jepang melakukan beberapa
peraturan. Dalam Undang-Undang No. 4 ditetapkan hanya bendera Jepang, Hinomaru, yang boleh dipasang pada hari-hari besar dan hanya lagu kebangsaan Kimigayo yang
boleh diperdengarkan. Sejak tanggal 1 April 1942 ditetapkan harus
menggunakan waktu (jam) Jepang. Perbedaan waktu antara Tokyo dan Jawa
adalah 90 menit. Kemudian mulai tanggal 29 April 1942 ditetapkan bahwa
kalender Jepang yang bernama Sumera. Tahun 1942 kalender Masehi, sama dengan tahun 2602 Sumera. Demikian juga setiap tahun rakyat Indonesia diwajibkan untuk merayakan hari raya Tancōsetsu, yaitu hari lahirnya Kaisar Hirohito.
Dalam
situasi perang, Jepang berkepentingan untuk membangun berbagai sarana,
seperti kubu-kubu pertahanan, benteng, jalan-jalan, dan lapangan udara.
Untuk itu, perlu tenaga kasar yang disebut romusha.
Bentuk
kerja paksa seperti halnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda
(Kerja Rodi) juga terjadi pada masa pendudukan bala tentara Jepang, yang
disebut dengan Romusha. Para tenaga kerja paksa ini dipaksa sebagai
tenaga pengangkut bahan tambang (batu bara) , pembuatan rel kereta api
serta mengangkut hasil hasil perkebunan.Tidak terhitung berapa ratus
ribu bahkan jutaan rakyat Indonesia yang menjadi korban romusha. Untuk
menarik simpati bangsa Indonesia terhadap Romusha, Jepang menyebut
romusha sebagai “Pahlawan Pekerja/Prajurit Ekonomi”.
Para
romusha diperlakukan dengan sangat buruk. Mulai dari pagi buta hingga
petang, mereka dipaksa untuk melakukan pekerjaan kasar tanpa makanan dan
perawatan. Oleh karena itu, kondisi fisiknya menjadi sangat lemah
sehingga banyak yang menderita berbagai jenis penyakit, bahkan meninggal
dunia di tempat kerjanya. Belum lagi siksaan bagi yang melawan
mandor-mandor Jepang, seperti cambukan, pukulan-pukulan, dan bahkan
tidak segan-segan tentara Jepang menembak para pembangkang tersebut.’
Untuk mendukung kekuatan dan kebutuhan perangnya, pemerintah Jepang mengambil beberapa kebijakan ekonomi, antara lain.
I.) Pengambilan Aset-Aset Pemerintah Hindia Belanda
Aset-aset
yang ditinggalkan oleh pemerintah colonial Belanda disita dan menjadi
milik pemerintah pendudukan Jepang, seperti perkebunan, bank-bank,
pabrik-pabrik, pertambangan, sarana telekomunikasi, dan perusahaan
transportasi.
II.) Kontrol terhadap Perkebunan dan Pertanian Rakyat
Tidak
semua tanaman perkebunan dan pertanian sesuai dengan kepentingan
perang. Hanya beberapa tanaman saja yang mendapat perhatian pemerintah
pendudukan Jepang, seperti karet dan kina, serta Jarak. Kopi, teh, dan
tembakau hanya dikategorikan sebagai tanaman kenikmatan dan kurang
berguna bagi keperluan perang sehingga perkebunan ketiga tanaman
tersebut banyak digantikan dengan tanaman penghasil bahan makanan dan
tanaman jarak yang berguna sebagai pelumas mesin pesawat tentara Jepang.
III.) Kebijakan Moneter dan Perdagangan
Pemerintah
pendudukan Jepang menetapkan bahwa mata uang yang berlaku, tetap
menggunakan gulden atau rupiah Hindia Belanda. Tujuannya adalah agar
harga barang-barang tetap dapat dipertahankan seperti sebelum terjadinya
perang.
Perdagangan
pada umumnya lumpuh dikarenakan menipisnya persediaan barang-barang di
pasaran. Barang-barang yang dibutuhkan oleh rakyat didistribusikan
melalui penyalur yang ditunjuk agar dapat dilakukan pengendalian harga.
IV.) Sistem Ekonomi Perang
0 komentar:
Posting Komentar