Copy and WIN : h
Rabu, 18 Februari 2015
Biografi Al Farabi
Masa Kecil Al Farabi adalah salah satu ilmuwan dan filsuf Islam, selain itu beliau
juga dikenal sebagai fisikawan, kimiawan, ahli logika, ilmu jiwa,
metafisika, politik, musik, dll. Al Farabi yang mempunyai nama lengkap
Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzlag Al-farabi lahir di
Wasij di Distrik Farab (juga dikenal dengan nama Utrar), sekarang di
wilayah Uzbekistan, tahun 257 H/ 870 M dan meninggal di Damaskus tahun
950 M (berumur sekitar 80 tahun). Di dunia barat Al Farabi dikenal
dengan nama Alpharabius atau Abunasir (Avennaser).
Ibunya berasal dari Turki dan ayahnya berasal dari Persia (Suriah). Ayah
beliau adalah seorang opsir keturunan Persia yang mengabdi kepada
pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah. Diprediksi masuknya keluarga
Farabi ke dalam islam terjadi pada masa hidup kakek beliau, Tarkhan.
Peristiwa itu terjadi kira-kira bersamaan dengan peristiwa penaklukan
dan islamisasi atas Farab oleh Dinasti Samaniyyah pada tahun 839-840 M.
Kenyataan bahwa Al-Farabi adalah putra seorang militer menjadi cukup
penting karena hal itu memisahkan dirinya dari filsuf-filsuf islam abad
pertengahan lainnya. Tidak seperti Ibnu Sina yang ayahnya bekerja dalam
birokrasi Samaniyyah atau Al Kindi yang ayahnya adalah gubernur Kufah.
Al Farabi tidak termasuk dalam kelas katib, suatu kelas yang memainkan
peranan administratif yang besar bagi pengusaha-pengusaha Abbasiyyah dan
satelit-satelit mereka.
Ketika kecil, beliau dikenal rajin belajar dan memiliki otak yang
cerdas, belajar agama, bahasa Arab, Bahasa Turki, dan bahasa Parsi di
kota kelahirannya, Farab. Selain itu beliau juga mempelajari Al Qur'an,
tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqih, tafsir, dan ilmu
hadits) dan aritmatika dasar. Al Farabi muda belajar ilmu-ilmu Islam dan
musik di Bukhara. Sebelum diciptakan sistem madrasah di Seljuk,
menuntut ilmu dilakukan di lingkungan-lingkungan pengajaran yang
diadakan oleh berbagai individu, baik di rumah mereka maupun di masjid.
Ada juga perpustakaan besar yang menyambut hangat para pakar yang hendak
melakukan studi. Ada dikotomi tertentu antara ilmu-ilmu Islam seperti
tafsir, hadits, fiqih, serta ushul (prinsip-prinsip dan sumber-sumber
agama) dan studi tambahan seperti studi bashasa Arab dan kesusasteraan
dan ilmu-ilmu asing, yaitu ilmu-ilmu Yunani yang memasuki dunia Islam
melalui penerjemahan dari orang-orang Kristen Nestorian seperto Hunain
Ibn Ishaq dan mahzabnya. Lembaga pendidikan pada awalnya bersifat
tradisional yang mendapatkan dukungan finansial dari wakaf, sedangkan
ilmu-ilmu rasional biasanya diajarkan di rumah atau di Dar Al-Ilm'.
Baghdad
Kurang puas dengan pendidikan yang ada di sana, Ibnu Farabi pindah ke
Baghdad yang merupakan pusat ilmu pengetahuan dan peradaban saat itu. Di
Baghdad beliau bertemu dengan orang-orang terkenal dari beragam
disiplin ilmu pengetahuan. Al Farabi belajar bahasa dan sastra Arab dari
Abu Bakr al-Sarraj; belajar logika dan filsafat dari Abu Bisyr Mattius
(seorang Kristen Nestorian) yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani
dan Yuhana bin Hailam (seorang filsuf Kristen). Al-Farabi unggul dalam
ilmu logika. Beliau banyak memberikan sumbangsih dalam penempaan sebuah
bahasa filsafat baru dalam bahasa Arab meskipun menyadari perbedaan
antara tata bahasa Arab dan Yunani.
Harran
Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, kira-kira pada tahun
920 M, Al Farabi mengembara ke kota Harran yang terletak di Utara Syria,
dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil.
Daerah Harran ini dikenal pula sebagai tempat nabi Ibrahim as lahir dan
dibesarkan sekaligus menjadi tempat lahir bapak para nabi itu. Di
Harran beliau belajar pada seorang filsuf kristen yang bernama Yuhanna
bin Jilad.
Baghdad
Al Farabi kemudian kembali lagi ke Baghdad untuk mengajar dan menulis.
Beliau adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan,
mempertalikan, dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat Yunani klasik
dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks
agama-agama wahyu. Beliau berhasil menyusun sistematika konsepsi
filsafat secara meyakinkan. Posisinya mirip dengan Plotinus (204-270 M)
yang menjadi peletak filsafat pertama di dunia barat. Jika orang Arab
menyebut Plotinus sebagai Syaikh al-Yunani (guru besar dari Yunani) maka
mereka menyebut al Farabi sebagai al-Mu'allim al-Tsani (guru kedua).
'Guru pertama' disandang oleh Aristoteles. Julukan 'guru kedua'
diberikan pada al Farabi karena beliau adalah filsuf muslim pertama yang
berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif antara
pemikiran filsafat Aristoteles dan Plato (guru Aristoteles). Karya Al
Farabi yang berjudul al-Ibanah 'an Ghardh Aristhu fi Kitab Ma Ba'da
al-Thabi'ah (Penjelasan Maksud Pemikiran Aristoteles tentang Metafisika)
banyak membantu para filsuf sesudahnya dalam memahami pemikiran
filsafat Yunani. Konon Ibnu Sina (filsuf besar sesudah Al Farabi) sudah
membaca 40 kali buku metafisika Aristoteles, bahkan beliau menghapalnya,
tapi diakui bahwa beliau belum juga mengerti. Namun setelah membaca
kitab karya Al farabi yang khusus menjelaskan maksud dari pemikiran
Aristoteles, Ibnu Sina mengaku mulai paham pemikiran metafisik
Aristoteles. Setelah melakukan petualangan cukup lama di Baghdad sekitar
20 tahun, pada tahun 942 M situasi di ibukota semakin buruk karena
adanya pemberontakan yang dipimpin seorang mantan kolektor pajak
Al-Baridi, kelaparan dan wabah merajalela. Khalifah Al-Muttaqi
meninggalkan Baghdad dan berlindung di Istana pangeran Hamdaniyyah,
Hasan (yang kemudian mendapat sebutan Nashr Al-Daulah) di Mosul. Saudara
Nashir, Ali, bertemu khalifah di Tarkit. Ali memberi khalifah makanan
dan uang agar khalifah dapat sampai ke Mosul. Kedua saudara Hamdaniyyah
ini kemudian kembali bersama khalifah ke baghdad untuk mengatasi
pemberontakan. Sebagai rasa terima kasih khalifah menganugerahi Ali
gelar Saif Al-Daulah. Al Farabi sendiri pergi ke Damaskus.
Damaskus
Menurut Ibn Abi Usaibi'ah di Damaskus Al-Farabi bekerja siang dan malam
sebagai tukang kebun dan malam hari belajar teks-teks filsafat dengan
memakai lampu jaga. Al-Farabi terkenal sangat saleh dan zuhud. Beliau
tidak terlalu mementingkan hal-hal keduniawiaan. Al Farabi membawa
manuskripnya yang berjudul Al-Madinah Al-Fadhilah, manuskrip yang mulai
ditulisnya di Baghdad. Di Damaskus manuskrip tersebut berhasil
diselesaikan pada tahun 942/3 M. Sekitar masa-masa ini Al Farabi
melakukan perjalanan ke Mesir yang pada saat itu diperintah oleh
Ikhsyidiyyah. Menurut Ibn Khallikan, di Mesir inilah Al Farabi
menyelesaikan Siayasah Al-Madaniyyah yang mulai ditulis di Baghdad.
Setelah meninggalkan Mesir, Al Farabi bergabung dengan lingkungan
cendekiawan cemerlang filosof, penyair, dan sebagainya yang berada di
sekitar Pangeran Hamdaniyyah yang bernama Said Al-Daulah. Sultan memberi
Al Farabi jabatan sebagai ulama istana dengan banyak fasilitas kerajaan
yang mewah. Namun fasilitas mewah itu ditolaknya dan hanya mau menerima
4 dirham/hari untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya secara
sederhana. Sisa dari gaji yang diterima dari istana digunakan Al Farabi
untuk kepentingan sosial dan dibagi-bagikan pada kaum fakir miskin di
sekitar Aleppo dan Damaskus. Pada tahun 950 M, Al Farabi wafat dengan
usia sekitar 80 tahun. Ada satu legenda di kemudian hari yang tidak
terdapat pada sumber awal dan karena hal itu maka diragukan bahwa Al
farabi dibunuh oleh pembegal-pembegal jalan setelah berani
mempertahankan diri. Al Qifti mengatakan bahwa Al Farabi meninggal
ketika perjalanan ke Damaskus bersama Said Al-Daulah. Saif al-Daulah dan
beberapa anggota lainnya melakukan upacara pemakaman untuk Al Farabi.
Buah Pemikiran Filasafat Al Farabi
Al Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan
nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara
Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan
tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan), yaitu keluarnya mumkin
al-wujud (disebut alam) dari pancaran Wajib al-Wujud (Tuhan). Proses
terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakur (berpikir) Tuhan
tentang diri-Nya sehingga Wajib al-Wujud juga diartikan 'Tuhan yang
Berpikir'. Tuhan senantiasa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri
sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al Farabi memberi 3 istilah yang
disandarkan pada Tuhan:
1. al-'Aql (akal) >> sebagai zat atau hakikat dari akal-akal
2. al-'Aqil (yang berakal) >> sebagai subyek lahirnya
akal-akal
3. al-Ma'qul (yang menjadi sasaran akal) >> sebagai obyek yang
dituju oleh akal-akal
Sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:
1. Tuhan sebagai al-'Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai
al-'Aql (WUjud I) ini berpikir tentang diri-Nya sehingga melahirkan
Wujud II yang substansinya adalah Akal I --> al-Sama' al-Awwal
(langit pertama)
2. Wujud II berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud III
yang substansinya Akal II --> al-Kawakib (bintang-bintang)
3. Wujud III berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud IV
yang substansinya Akal III --> Saturnus
4. Wujud IV berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud V
yang substansinya Akal IV --> Jupiter
5. Wujud V berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud VI
yang sunstansinya Akal V --> Mars
6. Wujud VI berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud VII
yang substansinya Akal VI --> Matahari
7. Wujud VII berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud VIII
yang substansinya Akal VII --> Venus
8. Wujud VIII berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud IX
yang substansinya Akal VIII --> Mercury
9. Wujud IX berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud X
yang substansinya Akal IX --> Bulan
10. Wujud X berpikir tentang Wujud I sehingga melahirkan Wujud XI
yang substansinya Akal X --> Bumi, ruh, materi pertama (Hyle) yang
menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini
disebut juga al-'aql al-fa'al (akal aktif) yang biasa disebut Jibril
yang berperan sebagai wahib al-suwar (pemberi bentuk, form).
Al Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam 2 kategori:
1. Esensinya tidak berfisik
Baik yang tidak menempati fisik (yaitu Tuahn, Akal I, dan Akal-Akal
Planet) maupun yang menempati fisik (yaitu jiwa, bentuk, dan materi)
2. Esensinya berfisik
Yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang
tambang, dan unsur yang empat: api, udara, air, tanah
Pemikiran Al Farabi tentang Jiwa
Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara
jiwa dan jasad hanya bersifat accident ('ardhiyyah), artinya ketika
fisik binasa jiwa tidak ikut binasa karena substansinya berbeda. Jiwa
manusia disebut al-nafs al-nathiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal
dari alam Illahi sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk,
berkadar, bergerak, dan berdimensi.
Jiwa manusia, menurut Al Farabi, memiliki 3 daya:
1. Daya gerak (quwwah muharrikah), berupa makan (ghadiyah,
nutrition); memelihara (murabbiyah, preservation); dan berkembang biak
(muwallidah, reproduction)
2. Daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa merasa (hassah,
sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination)
3. Daya berpikir (al-quwwah al-nathiqah, intellectual), berupa akal
praktis ('aql 'amali) dan akal teoritis ('aql nazhari). 'Aql nazhari
terbagi pada 3 tingkatan:
a. al-'aql al-hayulani (akal potensial, material intellect) yang
mempunyai 'potensi berpikir' dalam arti melepaskan arti-arti atau
bentuk-bentuk (mahiyah) dari materinya
b. al-'aql bi al-fi'l (akal aktual, actual intellect) yang dapat
melepaskan arti-arti (mahiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah
mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual) bukan lagi dalam
bentuk potensial
c. al-'aql al-mustafad (akal pemerolehan, acquired intellect)
yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada
materinya karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati
materi. al-'aql al-mustafad bisa berkomunikasi dengan Akal X (Jibril)
dan mampu menangkap pengetahuan yang dipancarkan oleh 'akal aktif' ('aql
fa'al). Dan 'aql fa'al menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal
potensial naik menjadi akal aktual, juga bisa mengangkat akal aktual
naik menjadi akal mustafad. Hubungan anatar 'aql al-fa'al dan 'aql
mustafad ibarat mata dan matahari.
Pemikiran Al Farabi tentang Asal-Usul Negara dan Warga Negara
Menurut Al Farabi, manusia merupakan warga negara yang merupakan salah
satu syarat terbentuknya negara. Oleh karena itu manusia tidak dapat
hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuak orang lain, maka manusia
menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian dalam proses yang
panjang pada akhirnya terbentuk suatu Negara. Menurut Al Farabi, negara
atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan
paling mampu memenuhi kebutuhan hidup abtara lain: sandang, pangan,
papan, dan kemanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat sehingga
mencapai kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang sudah
mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata adalah
Negara Utama.
Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu
negara yang diikuti dengan segala prinsip-prinsipnya (mabadi) yang
berarti dasar, titik awal, prinsip, ideologi, dan konsep dasar.
Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang
menentukan sifat, corak serta jenis negara. Menurut Al Farabi,
perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya.
Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara yaitu seorang yang
paling unggul dan paling sempurna diantara mereka.
Negara Utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama
karena secara alami pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat
hierarkis dan sempurna. Ada 3 klasifikasi utama:
1. Jantung. Jantung erupakan organ pokok karena jantung adalah organ
pengatur yang tidak diatur oleh organ lain
2. Otak. Bagian ini selain bertugas melayani jantung juga mengatur
organ-organ bagian di bawahnya yakni organ peringkat ketiga, seperti
hati, limpa, dan organ-organ reproduksi.
3. Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung
dan melayani organ dari bagian atas.
Pemikiran Al Farabi tentang Pemimpin
Dengan prinsip yang sama, seorang pemimpin negara merupakan bagian yang
paling penting dan paling sempurna di dalam suatu negara. Menurut Al
Farabi, pemimpin adalah seorang yang disebut sebagai filsuf yang
berkarakter Nabi yakni seorang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa
(rasionalitas dan spiritualitas).
Disebutkan adanya pemimpin generasi pertama (the first one-dengan segala
kesempurnaannya-Imam) dan karena sangat sulit untuk ditemukan
(keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi selanjutnya sudah
cukup, yang disebut sebagai (Ra'is) atau pemimpin golongan kedua.
Selanjutnya Al Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah
terpenuhi namun kualitas seorang filsuf tidak terpenuhi atau tidak
ambil bagian dalam suatu pemerintahan maka Negara Utama tersebut bagai
'kerajaan tanpa seorang Raja'. Oleh karena itu, Negara dapat berada
diambang kehancuran.
Pemikiran Al Farabi tentang Teori Kenabian
Teori ini sekaligus digunakan untuk merespon pendapat Ibnu al-Rawandi
yang lebih tegas penolakannya terhadap kenabian dan Al Razi yang kritik
dan penolakannya pada kenabian masih kontroversi dan diragukan. Menurut
Al Farabi, nabi dan filosof sama-sama mampu berkomunikasi dengan 'aql
fa'al (akal ke 10) yang tidak lain adalah Jibril karena keduanya sampai
pada tingkat 'aql mustafad. Hanya keduanya memiliki perbedaan: Nabi
mampu berkomunikasi dengan akal ke-10 tanpa melalui latihan khusus
karena mendapat limpahan dari Tuhan berupa kekuatan atau daya suci
(quwwah qudsiyyah) yang di dalamnya ada daya imaginasi luar biasa berupa
al-hads (semacam insight khusus). Sementara filosof harus melalui
latihan yang serius dan cukup lama. Dengan demikian, Nabi lebih tinggi
tingkatannya daripada filosof dan bisa juga dikatakan bahwa setiap Nabi
pasti seorang filosof tapi seorang filosof belum tentu seorang Nabi.
Karya-Karya Al Farabi
1. Al Jami’u Baina Ra’ya Al Hakimain Al falatoni Al Hahiy wa
Aristho-thails (Filosofi Plato dan Aristoteles).
2. Tahsilu as Sa’adah (Mencari Kebahagian).
3. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan).
4. Fususu Al Taram (hakekat kebenaran)
5. Al Madinah Al Fadilah (Kota atau Negara Utama).
6. As Syiyasyah (Ilmu Politik)
7. Fi Ma’ani Al Aqli.
8. Ihsho’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu).
9. At Tangibu ala As Sa’adah.
10. Isabetu Al Mufaraqaat.
Copy and WIN : h
Copy and WIN : h
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar