Kolam itu menjadi saksi kenakalan kami para siswa SLTA di Kota Sigli. Saya dan ratusan teman kelas tiga melucuti seragam sekolah yang sudah penuh coretan cet semprot usai melihat kelulusan meskipun ada larangan, kemudian nyemplung ke kolam tersebut. Sepulang dari sana, kami dikejar para guru hingga keesokannya dipanggil wali murid. Duh!
Namun 2009 belum secantik 2015. Hari itu saya datang bukan dengan gerombolan remaja nakal. Saya datang bersama kawan media, disertai sopan santun. Kami juga bicara santai kepada salah satu pejabat KPH Tahura PMI. Ia cerita banyak kepada kami di rumah yang menggayut pada dua batang pinus besar.
Rumah Pohon Tahura itu membenamkan pengalaman remaja saya.
Saya hirup udara segar di Pos KPH Tahura PMI ini, yang bertengger di kaki gunung Seulawah Inong. Suara jangkrik yang tak putus-putus ialah kemesraan alam yang paling saya sukai di sini. Suara kendaraan yang lewat di jalan nasional menjadi kecil sekali, selain kami tak melihat wujudnya.Di Pos Tahura ini, saya juga menyadari banyak hal tentang lingkungan hidup. Bagaimana fungsi hutan yang menjadi penyedia air bagi bumi dan manusia. Bagaimana pentingnya pepohonan untuk mengundang awan pengirim hujan.
Pada awal Februari, saya kembali ke Pos Tahura PMI. Pada hari yang ramai dengan kedatangan murid SMA, saya kembali minta Ikbal Fanika mengambil pose saya di Rumah Pohon. Saya tak mau kalah dengan sepasang calon pengantin baru yang sedang motret prawed (sepertinya) di ujung kompleks Pos Tahura.
Pada akhirnya, saya berharap Rumah Pohon itu akan menjadi sumber Rumah Pendidikan Lingkungan bagi pengunjung Tahura PMI.
0 komentar:
Posting Komentar